Jalan Ganesha, depan Kampus ITB, Bandung; Rp 10.000–15.000
Bagi warga Jawa Timur yang merantau ke Bandung, salah satu hal yang dirindukan adalah budaya cangkru’an(nongkrong). Orang Jawa Timur pada umumnya suka cangkruk di warung kopi pinggir jalan. Menghabiskan segelas kopi dan beberapa gorengan sambil ngobrol ngalor-ngidul selama berjam-jam. Meskipun di Bandung terdapat banyak warung kopi, entah kenapa menurut saya teman-teman dari Jatim nuansanya tetap kurang homy.
Maka, begitu sekitar 3-4 tahun lalu dibuka angkringan di depan Kampus ITB, ini serasa menjadi oase bagi teman-teman dari Jatim. Lokasi angkringan ini sangat mudah ditemui. Anda tinggal menuju Jalan Ganesha, dan angkringan tepat di depan gerbang depan ITB. Bisa dilihat di gambar bahwa suasana angkringan sangatlah ramai. Anda bisa makan di tenda, tetapi pada umumnya orang-orang lebih memilih untuk duduk lesehan di trotoar diterangi lampu jalan.
Sebagaimana umumnya angkringan dari Yogyakarta, menu andalan disini adalah nasi kucing. Bagi yang belum tahu, nasi kucing adalah sebungkus nasi dengan porsi yang sedikit ditambah lauk ala kadarnya. Terdapat beberapa jenis nasi kucing disini, tempe, teri, bandeng, dan nasi goreng. Untuk lauknya, selain terdapat gorengant tempe, tahu, bakwan, juga terdapat menu baceman tahu-tempe, sate kulit, sate usus, ceker ayam, dll. Untuk minumnya, tentu kopi joss menjadi andalan, selain itu juga ada jahe, susu, es teh, dll. Menunya memang merakyat, karena sepanjang yang saya tahu, awal mula konsumen dari angkringan di Yogyakarta adalah para kaum pekerja seperti tukang becak. Mereka tentu tidak affordable kalau harus membayar makanan yang mahal. Jadilah harga makanan dan minuman di angkringan menjadi sangat murah.
Waktu itu saya ke Angkringan bersama Uca dan Sulton. Kami memesan empat bungkus nasi kucing, beberapa tusuk sate. Anda bisa meminta lauk untuk dibakar kembali. Untuk minumnya mereka berdua memilih susu jahe dan teh manis panas. Sedangkan saya memilih kopi joss. Bagi yang belum tahu, kopi joss adalah kopi hitam yang diberi arang membara. Rasa panas dari arang bikin sensasi minum kopi ini menjadi “joss”. Meskipun tentu dari sisi kesehatan kurang baik, karena arang mengandung karsinogen.
Kami pun menyantap hidangan yang ada. Makan disini yang dicari bukanlah rasanya. Tetapi suasana makan di pinggir jalan sambil ngobrol itu yang mahal harganya. Apalagi di tengah penatnya kesibukan sehari-sehari, hal semacam ini bisa menjadi obat penawar yang tiada duanya. Saya mengamati bahwa sebagian besar pengunjung angkringan adalah justru orang Bandung. Artinya, tidak hanya orang dari kultur Jawa yang menggemari budaya cangkruk di warung, melainkan budaya ini tentunya adalah ciri khas orang Indonesia pada umumnya. Jika dibandingkan dengan keadaan dengan tempat sekolah saya di Belanda, hal-hal inilah yang kita rindukan dari Indonesia.
Setelah menghabiskan waktu sekitar dua jam di angkringan, kami pun membayar dan disodori tagihan kira-kira Rp 40.000. Harga ini untuk tiga orang sebetulnya mahal jika dibandingkan dengan angkringan yang asli di Yogyakarta. Namun, untuk ukuran Bandung, harga itu sudah sangat murah. Kalau dibandingkan dengan kepuasan yang didapatkan, harga yang kami bayar itu sangat worth it.
Bandung, 30 Maret 2014