Substansi

Ingin jadi wartawan, nyasar jadi guru

Mengapa kuliah di luar negeri?

8 Comments

Sudah hampir dua tahun ini saya ada di Groningen, Belanda. Sejak bulan Desember 2012, saya ada di negeri yang dingin ini untuk menempuh pendidikan S-3. Tentu saya tidak membayar sendiri untuk pendidikan ini, orang tua saya juga tidak mungkin membiayai. Lha wong jika selesai sesuai rencana (4 tahun), biaya yang dihabiskan selama studi di Belanda minimal sebesar 1 miliar rupiah. Tidak mungkin saya maupun orang tua mempunyai uang nganggur sebesar itu, hehehe.

Saya, seperti juga banyak teman-teman yang lain disini, sekolah dibayari oleh negara. Negorone sopo? Ya negara kita, Indonesia tercinta. Jangan salah, NKRI itu kaya loh. Buktinya ribuan orang disekolahkan ke luar negeri. Itu sama dengan uang triliunan rupiah.

Kuliah di luar negeri adalah cita-cita saya sejak S-1 dulu. Kalau dulu sih niatnya masih biar gaya-gayaan saja. Keren gitu kelihatannya kalau tinggal di luar negeri. Bisa merasakan dinginnya salju, jalan-jalan ke negara lain, dll. Apalagi sebagai anak kampung dari Jember, Jawa Timur, dimana sedikit sekali contoh yang kuliah lanjut ke luar negeri, motivasi itu terus saya simpan.

Lulus S-1, saya memantapkan diri untuk menjadi dosen, di almamater tercinta, Teknik Industri ITB. Keputusan ini membuat saya harus studi lanjut S-2. Sesuai cita-cita, tentu ingin lanjut ke luar negeri. Tetapi di tahun 2009, kesempatan beasiswa tidak sebanyak sekarang. Jadilah saya lanjut lagi di ITB, dengan beasiswa voucher, sambil bekerja di salah satu pusat penelitian. Saya berpikir, tidak apa-apa, nanti saja S-3 harus di luar negeri.

Saya lulus S-2 tahun 2011 dan setelahnya melamar menjadi Asisten Akademik (semacam asisten dosen) di TI ITB. Pada waktu itu juga rajin mencari-cari peluang S-3. Akhirnya kesempatan itu datang pada tahun 2012, periode yang bakal terus saya ingat. Bagaimana tidak, di tahun itu rejeki datang secara terus menerus. Pertama, menikah dengan pujaan hati, dengan semua biaya yang saya kumpulkan sendiri, tanpa sepeser pun minta ke orangtua/keluarga. Kedua, dapat beasiswa S-3 di University of Groningen, Belanda. Ketiga, yang paling tidak disangka, oleh program studi saya diajukan untuk menjadi PNS dosen. Sesuatu yang sebenarnya baru saya rencanakan 2-3 tahun kemudian.

Singkat cerita, tiga bulan setelah menikah saya berangkat ke Belanda. Senang sekali akhirya salah satu tujuan hidup bisa terlaksana, sekolah di luar negeri. Selama disini tentu sudah belajar banyak hal. Disini saya akan coba membagi beberapa hal yang bisa kita petik dengan kuliah di negeri orang.

Apa motivasi utama kuliah di luar negeri?

Pertanyaan ini sulit dijawab. Bagi saya yang dosen ITB, motivasi sederhana saya adalah karena hampir semua senior mendapatkan gelar S-2/S-3 nya dari perguruan tinggi di luar negeri, dari Jepang, Belanda, Belgia, Prancis, Amerika Serikat, dll. Saya tidak munafik, tentu ada sedikit rasa gengsi kalau saya hanya terus-terusan ada di “kandang” (ITB) dari S-1, S-2, S-3. Motivasi lain, ketika itu di tahun 2011-2012 saya merasa amat bosan dan jenuh sudah ada di ITB sejak tahun 2004. Saya ingin mencari suasana dan tantangan baru. Mumpung masih muda.

Bukankah di dalam negeri kualitas pendidikan tinggi sudah cukup baik?

Betul. Apalagi di bidang saya, pemodelan matematis. Kami tidak bekerja di laboratorium. Mengumpulkan data, membuat model, kemudian membuat simulasi. Artinya, semua itu di Indonesia juga bisa dilakukan, apalagi sekarang akses informasi sangat mudah. Tetapi, begitu sampai di Belanda, ternyata harus diakui bahwa memang disini jauh lebih baik lagi. Dari sisi fasilitas, pelayanan administrasi, kemampuan dosen, dll disini secara umum lebih baik dari kampus-kampus di Indonesia.

Disini mahasiswa dianggap sebagai bagian dari sumber daya

Hal ini menurut saya amat penting dan menjadi pembeda utama dengan Indonesia. Di luar negeri, yang saya rasakan disini, terutama untuk mahasiswa doktoral, kami dianggap sebagai bagian dari resources yang turut berkontribusi ke kinerja universitas, dalam hal ini adalah karya penelitian. Jadi tidak dianggap sebagai student belaka. Berdasarkan atas filosofi ini, kebutuhan mahasiswa S-3 amat diperhatikan. Dari mulai meja kerja pribadi, komputer, akses ke paper, pembelian textbooks, kesempatan courses, dll. Untuk teman-teman yang bekerja di laboratorium, saya dengar dari mereka bahwa penyediaan bahan dan alat-alatnya juga amat baik, sesuatu yang langka ditemui di Indonesia. Contoh lain yang lebih sederhana. Karena universitas juga peduli terhadap hasil penelitian mahasiswa, maka di Belanda jarang ditemui mahasiswa yang sulit bertemu dengan supervisornya untuk bimbingan, bahkan sampai menunggu lama dan tidak jelas seperti di Indonesia, hehe. Penelitian adalah milik bersama, oleh karena itu mahasiswa dan supervisor juga bekerja bersama supaya hasilnya bagus. Jadwal meeting pun disepakati bersama.

Keahlian Profesor disini mumpuni

Bukannya saya bilang Profesor di Indonesia tidak pintar. Tidak, para guru besar kita juga pintar-pintar. Tetapi, harus jujur diakui kalau dosen-dosen kita itu kerjanya tidak sepenuhnya fokus. Penghasilan yang masih kurang membuat mereka “nyambi” di luar kampus. Menjadi narasumber, mengerjakan proyek konsultansi, memberikan training, dll. Itu semua halal. Tetapi, secara tidak langsung juga membuat potensi besar dosen untuk mengembangkan keilmuannya menjadi berkurang. Indikatornya mudah, publikasi dosen Indonesia masih minim, penemuan yang fundamental juga amat jarang. Berbeda dengan dosen di negara-negara maju. Disini pendapatannya sudah cukup. Kalaupun dosen dapat proyek dari luar kampus, mereka tidak bisa menghonorkan dari proyek itu untuk penghasilan tambahannya. Hal yang bisa dilakukan adalah mengelola dana proyek itu untuk mempekerjakan mahasiswa S-3, menghadiri conferences, membeli textbook, dll. Hal ini menurut saya membuat kerja para dosen disini menjadi tenang. Karena tidak ada lagi yang dipikir, dan karena juga tidak bisa men­­-top-up gajinya, mereka fokus dengan penelitiannya. Akibatnya, keahlian mereka (yang umumnya spesifik hanya di beberapa bidang) amat terasah. Saya merasakan betul hal ini. Para profesor disini jago banget. Dalam hal yang di Indonesia dianggap teknis seperti simulasi, utak-atik software dll mereka juga masih terus menjaga skill-nya.

Apa tidak takut kehilangan network di Indonesia kalau kuliah di LN?

Waktu akan berangkat ke luar negeri, seorang senior bilang bahwa banyak orang, biasanya yang sudah cukup mapan, agak enggan untuk kuliah di luar negeri karena takut kehilangan network yang sudah dibangun di Indonesia. Logikanya sederhana. Studi S-3 memakan waktu 3-4 tahun. Selama itu, network kita di Indonesia secara de facto bakal hilang. Artinya, pada saat pulang kita harus membangunnya lagi. Tentu jadi manusiawi kankalau ada yang menjadikan hal ini sebagai alasan untuk kuliah di dalam negeri saja. Beberapa bulan setelah dapat beasiswa ke Belanda, secara kebetulan saya bertemu seseorang di travel menuju Jakarta. Ternyata beliau adalah seorang dosen di salah satu PTN di Bandung. Beliau bilang, “Dek, lanjut S-3 di Indonesia saja. Tidak repot. Bisa sambil proyek. Nanti juga waktu mengurus jabatan fungsional lebih mudah”. Ketika itu saya tersenyum saya, dalam hati tentu tidak setuju dengan pendapat beliau. Sebetulnya saya pun di tahun 2012 sempat merasakan sedikit kegalauan itu. Selama di ITB saya sudah ikut proyek sana-sini. Sempat ada rasa takut jika semua itu harus dimlai dari nol lagi. Tetapi saya berpikir, ya sudah lah. Nanti waktu lulus S-3 saya masih 30 tahun. Masih banyak tersedia waktu untuk membangun network. Jangan lupa juga, selama di luar negeri sebetulnya kan kita juga bikin network, dengan para profesor, dengan para kolega S-3, dll. Suatu saat pasti ada manfaatnya.

Bagaimana dengan keluarga?

Banyak teman-teman saya disini yang memulai studi pada saat sudah memiliki anak. Rata-rata mereka membawa putra-putrinya. Memang tentu repot karena harus ada penyesuaian, istri mungkin meninggalkan pekerjaannya di Indonesia, dll. Tetapi manfaat yang didapatkan oleh keluarga yang ikut ke luar negeri ternyata juga amat banyak. Anak-anak bisa merasakan atmosfir pendidikan dasar di negeri maju adalah salah satu contohnya. Kalau saya amati, anak-anak Indonesia disini rata-rata menjadi mandiri, bisa jadi akibat kehidupan disini yang baik. Selain itu juga bisa merasakan pelayanan kesehatan yang bagus, seperti yang kami rasakan di periode kehamilan istri saya. Intinya, tergantung cara pikir. Menurut saya keluarga bukanlah hambatan, justru mereka adalah penerima manfaat dengan kuliahnya kita ke luar negeri.

Kesempatan untuk melihat peradaban bangsa-bangsa lain

Bahasa saya ketinggian. Maksud saya disini adalah kesempatan untuk jalan-jalan, hahaha. Saya tidak munafik, dengan pendapatan seorang dosen, saya tahu sulit bagi nanti jika di Indonesia bercita-cita untuk Euro trip. Tetapi dengan sekarang saya di Belanda, kesempatan itu datang dengan sendirinya. Jarak yang dekat antar negara di benua biru membuat kemana-mana mudah. Sejauh ini saya dan istri sudah ke Belgia, Jerman, Italia, Prancis. Kami merencanakan dalam dua tahun berikutnya ingin ke Spanyol, Swiss, Austria, Ceko, Slovakia, negara-negara Skandinaia, Yunani, Turki. Bagi yang sudah punya anak pun lumrah jalan-jalan dengan putra-putrinya. Kemewahan yang patut disyukuri. Tentu tidak hanya pelesir. Seperti kata Bung Hatta, pada saat beliau di Belanda dulu, beliau tidak hanya belajar ilmu ekonomi, tetapi juga belajar budaya bangsa-bangsa asing, budaya yang membuat mereka bisa lebih maju dari Indonesia. Seperti itu pula yang saya dan istri lakukan ketika berjalan-jalan. Melihat bahwa Eropa dari dulu mempunyai peradaban yang tinggi, perencanaan yang matang, system transportasi umum yang baik, dll.

Sebagai penutup, menurut saya kuliah di luar negeri itu lebih banyak manfaatnya daripada mudharat-nya. Oleh karena itu, mantapkan hati, jangan ragu. Apalagi sekarang, beasiswa dari Indonesia untuk kuliah di luar negeri berlimpah ruah. Jadi, tunggu apa lagi 😀

Groningen, 7 Desember 2014, jam 16:59 CEST

Author: Rully Cahyono

Pengajar yang terus belajar

8 thoughts on “Mengapa kuliah di luar negeri?

  1. Bawa keluarga banyak manfaat manis. 🙂 Tambahan informasi saja.Bkn hanya masalah networking saja yg perlu disiapkan. Bila membawa keluarga yg harus disiapkan juga kondisi psikologis anak ketika kembali berhadapan dengan sistem pendidikan di Indonesia. Krn banyak sekali anak2 yg stress setelah kembali dari LN, krn mereka mjd “berbeda”.:)

    • Salam kenal. Memang betul. Terkadang justru malah jadi ragu ketika akan kembali ke Indonesia, karena sudah biasa dengan segala keteraturan di LN, termasuk soal pendidikannya. Tetapi ketika pulang nanti anak saya insha Allah baru akan berumur 2 tahun, jadi insha Allah tidak ada masalah, hehe.

  2. Wah terima kasih sudah berbagi ceritai, jadi dapat insight 😀
    Sekarang saya masih duduk di bangku S1, dan pingin banget S2 ke luar negeri, apalagi untuk jurusan saya (Ilmu Perpustakaan) S2 dengan akreditasi A hanya ada di LN, sebagus-bagusnya S2 untuk jurusan itu di Indonesia ya balik lagi ke kampus saya (UI).
    Akhir2 ini saya sedang mempertanyakan sendiri apa saya benar2 butuh S2 ke LN?
    Saya belum mengenal dunia kerja secara utuh sih, tapi apakah saat bekerja nanti gelar S2 di LN akan sangat dibutuhkan ya untuk profesi lain selain jadi dosen?

    • Terima kasih sudah berkunjung. Menurut saya, keputusan untuk langsung lanjut S2 atau tidak itu tergantung masing-masing. Jika memang ingin berkarir menjadi dosen/peneliti, maka tentu lebih baik langsung. Namun, jika tidak ingin mengambil jalur karir dosen/peneliti, bekerja dulu tidak ada salahnya. Mendapatkan pengalaman kerja 2-3 tahun baru lanjut S2 juga sangat baik. Siapa tahu nanti mendapatkan insight jurusan S2 apa yang diambil yang bisa mendukung karir.

  3. Terima kasih atas masukannya, kebetulan saya sedang browsing kenapa harus kuliah di LN. Saya baru saja lulus sarjana dan sekarang sedang bekerja, hanya saja saya sudah berencana untuk melanjutkan master di LN untuk tahun depan dengan beasiswa. Pertanyaan yang terus menghantui saya adalah kenapa hrs di LN kenapa tidak disini, saya senang sekali dengan jawaban Mas Rully, sangat jujur hehe, saya pun kalau ditanya kenapa akan memberi jawaban yg kurang lebih seperti itu, tetapi ketika tahap wawancara beasiswa nanti, saya yakin pertanyaan ini akan ditanyakan kepada calon penerima beasiswa, apakah jawaban seperti itu akan diterima?

    • Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Kalau soal jawabannya akan diterima atau tidak, itu tergantung ke masing-masing pewawancara, hehe. Menurut saya, percaya diri dan jujur saja. Bahwa dengan S2/S3 di LN kemudian bisa memberikan kontribusi nyata ke Indonesia (seperti yang akhir-akhir ini viral), menurut saya itu sulit sekali. Kalau saya berpikirnya, dengan kuliah di LN, paling tidak kapasitas individu saya bisa ter-upgrade. Jadi, nanti saya bisa berkontribusi lebih bagi tempat saya bekerja (i.e. kampus). Kalau pun yang tidak menjadi dosen, terangkatnya kapasitas pribadi dengan kuliah di LN itu pasti banyak manfaatnya kok. Berikan contoh saja. Banyak PNS yang disekolahkan ke LN. Kalau ditanya satu per satu, pasti orang-orang itu juga sulit menjelaskan apa kelak kontribusinya ke negara. Tetapi nyatanya, tetap disekolahkan kan? Berarti memang paling tidak self-capacity upgrading itu yang dikejar dari sekolah di LN. Semoga sukses.

  4. Suatu pertanyaan yang juga sedang saya menghantui saya terus (walaupun sekarang dalam proses apply juga hehe), karena saya kadang tidak suka dengan stigma sekarang yang seolah kuliah ke luar negeri dengan jalur beasiswa adalah mimpi (baca : ke luar negeri gratis). Udah sebatas itu aja, dan blog ini memberikan jawabannya. Lagipula hidup kan cuma sekali doang hehe..

    Terima kasih atas sharing nya mas, sukses disana, kontribusinya ditunggu.

Leave a reply to lala Cancel reply