Halo! Ini adalah sebagian kecil (hampir satu bab) dari novel yang sedang saya tulis. Sebetulnya, saya sudah selesai menulis 19 bab yang ada di novel tersebut. Namun, untuk membuatnya menjadi lebih menarik, lively, dan sinkron, saya ternyata perlu waktu cukup lama untuk mengeditnya. Proses menulis dan editing ini menyenangkan. Tetapi sering sulit mencari waktunya di tengah kesibukan sebagai mahasiswa S3 yang berkewajiban untuk coding Matlab, baca literatur, bikin prototype software, dll. Yah tapi dicari-cari saja waktunya.
Selama ini saya tidak menetapkan target khusus. Tetapi karena sudah terlalu lama, dan sebenarnya semua bab nya juga sudah selesai ditulis, saya harus menguatkan hati supaya editing novel ini bisa selesai paling lambat 4 bulan dari sekarang. Saya tulis disini supaya saya sendiri ingat tenggat waktu tersebut.
Sebagai informasi singkat, novel ini bercerita tentang seorang pemuda di desa yang berusaha untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Untuk meraihnya, dia dan keluarganya harus keluar dari zona nyamannya. Transformasi pemikiran itu yang coba saya tuliskan dengan rinci. Harapannya, dapat menginspirasi banyak orang di Indonesia, terutama untuk mencapai pendidikan tinggi, apa pun latar belakang kondisi kita. Setting nya sendiri terjadi di Indonesia, antara tahun 60-80 an.
Perkara nanti bisa terbit atau tidak, untuk sementara belum terlalu saya pikirkan. Paling tidak kalau sudah selesai, ada satu milestone dalam hidup yang sudah tercapai.
Oke, sementara begitu dulu. Enjoy!
* ………..
Hanya baju baru. Namun tidak berlebihan jika membuat Darsem gembira. Juga tidak berlebihan saat kesedihan melandanya ketika baju yang sama hilang dimaling orang. Apalagi dia baru beranjak tujuh belas tahun. Sudah menjadi kodrat alam jika perempuan di umur sekitaran itu masih ingin banyak merasakan kesenangan duniawi.
Namun, Darsem sedikit berbeda. Dia hanya sebentar merasa sedih, kemudian berlapang dada. Setelahnya malah dia mementingkan kepentingan suaminya di atas kesenangannya sendiri. Sungguh, Rusmi merasa kagum. Dia tahu perempuan itu tidak sedang bersandiwara untuk mengambil hati ibu mertuanya. Lagipula, untuk apa juga ia bermain peran. Mertuanya itu tidak memiliki cukup harta untuk dibagi-bagikan ke dirinya.
***************************
Pengetahuannya akan Darsem mungkin melebihi apa yang Karyamin tahu tentang isterinya itu. Rusmi tahu perempuan muda itu sejak ia masih bocah ingusan. Empat tahun kira-kira usianya ketika itu. Saat pertama kali bertemu, Rusmi merasa bahwa caranya berbicara bukan dari daerah Pandalungan. Memang betul, dia datang dari Nganjuk, daerah yang sudah dekat dengan Provinsi Jawa Tengah.
Darsem tidak punya banyak memori tentang masa kecilnya. Dia hanya ingat di hari itu ia merajuk ke Emaknya.
“Mak, kenapa engkau tidak ikut? Bukankah katamu nanti kita minum es? Ayo, Mak. Aku ingin minum es denganmu”.
Bocah kecil itu kegirangan bakal minum es untuk pertama kalinya. Minuman itu tidak dijual di kampungnya. Tetangganya yang sudah pernah minum es seringkali menceritakan segarnya minuman itu kepadanya. Dinginnya es yang melewati kerongkongan bisa menghilangkan dahaga dengan cepat. Dia sendiri tidak bisa membayangkan ada benda yang lebih dingin dari air sumur yang sudah semalaman tersimpan di ceret yang terbuat dari tanah liat.
Darsem makin senang karena kakek dan neneknya yang datang dari jauh bakal ikut serta. Namun ia heran, untuk minum es apakah perlu harus membawa gembolan yang banyak. Daritadi kakek dan neneknya sibuk menyiapkan empat gembolan yang besar-besar.
“Iya, nanti aku akan menyusul dan minum es denganmu. Tapi aku harus menidurkan adikmu, Dasri, dulu. Masa engkau tega adikmu keluar di tengah angin kencang begini?” Emaknya menjawab dengan terbata-bata.
“Jangan, Mak! Kasihan adik bayi nanti kalau kedinginan. Mak, kenapa matamu merah? Apakah kemarin engkau memburuh mengupas brambang lagi?” Mulut kecilnya terus mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Iya, inilah hasil buruhan emakmu kemarin. Pakailah untuk uang sakumu jajan es”.
Bapaknya ikut menimpali. Setelahnya ia mengangkat Darsem kecil. Cukup lama ia memeluk anak perempuannya itu. Dia melirik ke Wartinah, anaknya yang pertama. Kakaknya itu terdiam memandangi adiknya dan kemudian ia meraih lengannya.
Makin heran Darsem dengan perlakuan orang-orang terhadapnya. Namun ia sudah keburu senang mendapatkan banyak recehan koin rupiah dari bapaknya. Selama ini dia hanya mendapat koin satu atau dua sen. Itu pun kalau kursi bikinan bapaknya laku cukup banyak, atau emaknya habis menjadi buruh pengupas bawang merah yang banyak dihasilkan di daerahnya.
Continue reading →