Substansi

Ingin jadi wartawan, nyasar jadi guru

Potret pendidikan di Indonesia

Leave a comment

Saya dapat gambar ini dari grup Whatsapp kantor. Waktu itu Pak Muhammad Faisal, senior saya di Teknik Industri ITB yang mengirimkan. Sepertinya beliau sedang menonton berita di TV, dan kemudian memotretnya.

Statistik umum jenjang pendidikan angkatan kerja di Indonesia

Statistik umum jenjang pendidikan angkatan kerja di Indonesia

Saya cukup kaget lihat statistiknya. Bukan soal jumlah pengangguran yang masih sebesar 7,5 juta jiwa, atau sama dengan jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Selatan. Tetapi soal rendahnya jumlah serapan pendidikan tinggi. Saya tahu memang tidak terlalu banyak penduduk Indonesia yang melanjutkan kuliah. Tetapi tidak mengira bahwa angkanya akan sedramatis ini. Karena penasaran, saya pun mengecek ke situs Badan Pusat Statistik (BPS). Ternyata data yang dipaparkan oleh Metro TV itu adalah kurang lebih benar. Bagi yang ingin melihat sendiri datanya, dapat dicek disini. Secara umum, rinciannya sebagai berikut.

  • Jumlah angkatan kerja di Indonesia: 114 juta jiwa.
  • Tidak pernah sekolah: 5,1 juta jiwa.
  • Tidak tamat SD: 15,8 juta jiwa.
  • Tamat SD: 32,9 juta jiwa..
  • Tamat SMP: 20,4 juta jiwa.
  • Tamat SMA: 18,6 juta jiwa.
  • Tamat SMK: 10,5 juta jiwa.
  • Tamat D I/II/III: 2,9 juta jiwa.
  • Tamat S1/S2/S3: 8,3 juta jiwa.

Jumlah angkatan kerja yang berpendidikan tinggi sejumlah 11,2 juta jiwa, atau hanya 10% dari total angkatan kerja di tanah air. Menurut UU No. 13 Tahun 2003, definisi tenaga kerja adalah mereka yang berusia 15-64 tahun, yang mau dan mampu bekerja. Jadi, siswa sekolah/mahasiswa, ibu rumah tangga, dan kaum difabel tidak masuk ke dalam kategori angkatan kerja produktif. Mereka ada di luar kelompok sebesar 114 juta jiwa itu.

Bukan soal rendahnya daya saing nasional yang saya soroti, apalagi sekarang kita dihadapkan pada skema Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sudah di depan mata, dimana tidak hanya dengan tenaga kerja lokal, tetapi juga dengan tenaga kerja negeri-negeri jiran kita harus bersaing. Kita harus memiliki kesadaran lebih akan suatu kenyataan, bahwa ternyata akses untuk mendapatkan pendidikan tinggi itu masih sulit.

Angka 10% itu berarti, kalau teman sekelas Anda waktu SD ada 40 orang, nanti yang tidak lanjut kuliah itu ada 36 orang. Terdengar aneh dan tidak masuk akal? Iya bagi Anda yang dari kota atau sejak kecil masuk sekolah unggulan. Tetapi di desa, statistik itu nyata adanya. Contoh, dari semua teman SD saya, hanya dua orang yang lanjut kuliah. Padahal desa saya itu hanya 36 km dari kota besar, dan itu masih di Pulau Jawa. Bisa dibayangkan di pelosok-pelosok di luar Jawa sana.

Kalau ingin bukti lebih lanjut, silakan lihat rangkuman data dari BPS disini. Angka partisipasi perguruan tinggi (PT) di Indonesia memang hanya sekitar belasan persen. Sedangkan kalau menurut data dari World Bank, statisik yang sama di negara-negara maju adalah sekitar 40%. Memang cukup jomplang angkanya.

Mereka yang masuk 10% itu, adalah kelas menengah, yang hidupnya nyaman secara ekonomi. Sisa 90% apakah tidak ingin hidup nyaman? Tentu ingin. Tetapi tidak semua punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Untuk kuliah, dibutuhkan biaya sekitar 100 juta rupiah selama 4 tahun atau sekitar 2 juta rupiah per bulan. Sedangkan jumlah keluarga di Indonesia yang memiliki pendapatan bulanan minimal 4 juta rupiah itu tidak sampai 40%. Ingat, sebuah keluarga tentu pengeluarannya tidak hanya untuk satu anak yang sedang kuliah!

Makin kesini, bisa kuliah itu menurut saya bukanlah semata soal prestasi. Itu adalah kesempatan yang banyak orang (90%!) tidak memilikinya.

Banyak-banyaklah bersyukur kalau Anda masuk golongan 10%. Berbuatlah dengan aksi nyata supaya angka 10% itu bisa naik. Jangan belagu kalau punya pekerjaan yang enak, bisa KPR rumah dan kredit mobil. Semua itu (hanya) karena kesempatan.

Groningen, 29 Februari 2016

Author: Rully Cahyono

Pengajar yang terus belajar

Leave a comment